Senin, 05 Agustus 2013

Kisah Abu Umair (Si Pemilik Burung Pipit)

Orang yang mendengar nama Abu Umair mungkin mengira jika ia seorang pemuda. Padahal ia anak kecil yang masih tergantung kepada kedua orangtuanya, Ummu Sulaim dan Abu Thalhah. Ummu Sulaim dan Abu Thalhah adalah pembesar sahabat yang dekat dengan Rasulullah.
Abu Umair tak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ia senang bermain di jalan-jalan Madinah bersama anak-anak lain, belum memahami kondisi umat Islam yang saat itu sedang gelisah. Ibunya juga tidak memperkenalkannya dengan berbagai persoalan. Sang ibu hanya berfokus mendidik Abu Umair sesuai dunianya.
Suatu hari, Abu Umair berjalan-jalan menyusuri kebun-kebun Madinah bersama teman-temannya, melintasi pepohonan kurma, berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba ia meihat anak burung pipit mungil dengan paruh merah dan sayap warna-warni sedang meloncat-loncat di rerumputan. Abu Umair langsung menangkap anak burung itu, Ia  mengikat kaki anak burung itu dengan seutas benang agar tidak kabur. Abu Umair pulang dengan gembira karena memiliki sesuatu tidak dimiliki anak-anak lainnya.
Kini, Abu Umair menghabskan waktunya dengan bermain-main dengan burung cantik itu. Ia nikmati kicauannya yang merdu. Ia pandangi tanpa jemu bulu-bulunya yang indah, memberinya makan dan minum, serta merawatnya. Ibunya, Ummu Sulaim, tak mengusiknya. Ia membiarkan si anak mengurus burung kesayangannya. Ia bahagia melihat anaknya bahagia.
Suatu pagi, Abu Umair menjumpai burung itu sudah tak bergerak. Kaku dan kering. Ia menggerak-gerakkan. Ia piker burung itu tertidur. Abu Umair berteriak memanggil ibunya. Setelah diperiksa, sang ibu tahu jika burung itu sudah mati. Betapa terkejutnya Abu Umair. Ia menangis. Duduk bergeming dengan wajah murung. Diam saja ketika ibunya mengajak bicara.
Saat itu Rasulullah melintas. Beliau memandangi Abu Umair yang murung. “Ada apa dengannya?”
“Burungnya mati”.
Nabi tersenyum, lalu mendekati Abu Umair, dan menenangkannya.
“Hei Abu Umair, ada apa dengan burung pipit itu?”
Abu Umair terhibur dengan kedatangan Nabi. Kesedihannya mereda. Namun, beberapa hari kemudian ia demam. Tubuhnya lemah. Abu Thalhah resah melihat kondisi anaknya itu. Ia khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap anaknya itu. Tak putus-putusnya ia berdo’a agar Allah menyembuhkannya seperti sedia kala.
Suatu hari Abu thalhah berangkat kerja. Sorenya ia pulang. Ummu sulaim menyambutnya dengan wajah cerah. Ia tampak lebih cantik dengan hiasan yang ia pakai dan baju baru yang ia kenakan. Ia bersolek. Rambutnya disisir rapi. Abu Thalhah menanyakan Abu Umair.”Sekarang ia sudah tenang”, jawab Ummu Sulaim.
Lalu, cepat-cepat Ummu Sulaim mengambilkan baju bersih untuk suaminya. Hari itu begitu istimewa. Ia sengaja memasak makanan kesukaan suami tercinta. Diajaknya sang suami makan terlebih dahulu, dan dimintanya supaya jangan ribut agar tidak mengganggu ketenangan si kecil.
Alangkah nikmat Abu Thalhah menyantap hidangan malam itu. Belum pernah ia merasa makan enak seperti saat ini sejak anaknya sakit. Akhirnya, sepasang suami istri itu tidur lelap setelah menghabiskan waktu malam yang indah itu, mereka bangun setelah mendengar azan shubuh.
Usai mengerjakan shalat, Ummu Sulaim berkata kepada suaminya, “semoga Allah memberimu pahala berlimpah menyangkut Abu Umair. Allah telah memilihnya untuk kembali ke pangkuan-Nya”.
Abu Thalhah terpana, bingung tak tahu harus berbuat apa. Ia tak habis pikir sekaligus takjub kepada istrinya yang tidak ingin melihat suaminya menghabiskan malamnya dengan sedih. Semalaman istrinya memendam kesedihan di balik wajahnya yang cerah. Namun, hal itu membuat Abu Thalhah marah. Ia kemudian menemui Nabi, mengadukan sikap istrinya itu. Tanpa Abu Thalhah duga, Rsulullah justru berkata, “Allah benar-benar memberkahi malam kalian berdua”.
Tak lama kemudian Ummu Sulaim hamil. Allah hendakmemberi mereka pengganti Abu Umair yang namanya tercatat dalam lembaran sejarah bersama burung pipit kesayangannya.[1]
Setelah melahirkan Ummu Sulaim membawa anaknya beserta Anas anaknya yang lain kepada Rasulullah untuk disuapi kurma kunyahan beliau, lalu dido’akan.

Kisah ini diambil dari buku Sahabat-sahabat Cilik Rasululah karya Dr. Nizar Abazhah




[1] Al-isti’ab



Yuk intip koleksi mukena kami yang kece-kece Disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar