Rabu, 26 Desember 2012

Sejarah Madrasah Ibtidaiyah Di Indonesia

Sejarah Perkembangan Madrasah Ibtidaiyah di Indonesia


Nama: Asri Nuriyah
Sejarah Madrasah Ibtidaiyah Di Indonesia

A.    Pengertian Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran. Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah pemula
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.[1]
B.     Sejarah Madrasah
Madrasah adalah saksi perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada jaman penjajahan Belanda madrasah didirikan untuk semua warga.Sejarah mencatat , Madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah ( 1908, dimotori Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah  Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah schoel, Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). lalu, Madrasah Nurul Uman didirikan H.  Abdul Somad di Jambi.
       Madrasah berkembang di jawa mulai 1912. ada model madrasah pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustha, dan Muallimin  Ulya ( mulai 1919), ada madrasah yang mengaprosiasi sistem pendidikan  belanda plus, seperti muhammadiyah ( 1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin, Mubalighin, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model AL-Irsyad ( 1913) yang mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus, atau model Madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian, itulah singkat tentang sejarah madrasah di indonesia.[2]
C.       Latar Belakang Berdirinya Madrasah di Indonesia
Di Indonesia, permulaan munculnya Madrasah baru sekitar abab 20, meski demikian latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu semangat pembaharuan Islam yang berasal dari islam pusat(timur Tengah) dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakaan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah. Hal ini juga diamini oleh M. Arsyad yang dikutip Khoirul Umam, munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikarenakan kekhawatiran terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan sekolah-sekolah umum tanpa dimasukkan pelajaran dan pendidikan agama Islam.
Menyikapi kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya mendirikan dan mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga kepentingan utama, yaitu: 1) penyesuaian dengan politik pendidikan pemerintah kolonial; 2) menjembatani perbedaan sistem pendidikan keagamaan dengan sistem pendidikan modern; 3) agenda modernisasi Islam itu sendiri.[3]
     Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengantarkan pendidikan Islam ke dalam babak sejarah baru, yang antara lain ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan pendidikan nasional. 
Madrasah yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki kiprah panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah merupakan bagian dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil dalam pembangunan pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional. Madrasah telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses pencerdasan masyarakat dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan. 
Dengan biaya yang relatif murah dan distribusi lembaga yang menjangkau daerah-daerah terpencil, madrasah membuka akses atau kesempatan yang lebih bagi masyarakat miskin dan marginal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Walau demikian para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia agaknya sepakat dalam menyebut beberapa madrasah pada periode pertumbuhan, khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa.[4]
D.    Pengertian Madrasah Ibtidaiyah
Madrasah ibtidaiyah (disingkat MI) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal diIndonesia, setara dengan Sekolah Dasar, yang pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Agama. Pendidikan madrasah ibtidaiyah ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Lulusan madrasah ibtidaiyah dapat melanjutkan pendidikan ke madrasah tsanawiyah atau sekolah menengah pertama.
Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun.[5]
E.       Perkembangan Madrasah Ibtidaiyah Pada Masa Orde baru
Masa Orde baru, perkembangan Madrasah Ibtidaiyah ditandai dengan adanya perhatian pemerintah yang diwujudkan dengan adanya rangkaian dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) sejak masa orde lama yakni PP No 33 tahun 1949 dan PP No 33 tahun 1950, yang sebelumnya didahului dengan dikeluarkan Permenag No 1 Tahun 1946, No 7 tahun 1952, No 2 tahun 1960 dan terakhir No. 3 Tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada madrasah.  Kemudian lahir kebijakan  dalam rangka pengembangan madrasah tingkat dasar (Ibtidaiyah), pemerintah (Departemen Agama) mendirikan Mdarasah Wajib Belajar (MWB) yang menjadi langkah awal dari adanya bantuan dan pembinaan madrasah dalam rangka penyeragaman kurikulum dan sistem penyelenggaraannya, dalam upaya peningkatan mutu madrasah ibtidaiyah. Walaupun kemudian MWB ini tidak berjalan sesuai dengan harapan karena berbagai kendala seperti terbatasnya sarana prasarana, masyarakat kurang tanggap dan juga pihak penyelenggara madrasah, setidaknya itu menjadi pendorong kemudian pemerintah mendirikan adanya madrasah negeri yang lebih lengkap dan terperinci, dengan perbandingan materi agama 30% dan materi pengetahuan umum 70%. Dalam Pasal 4 TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966  disebutkan tentang isi pendidikan, di mana untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi pendidikan adalah:
1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama
2. Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan
3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.[6]
pada tahun 1962 terbuka kesempatan untuk menegrikan madrasah untuk semua tingkatan yaitu, Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Dengan adanya kesempatan tersebut, maka jumlah keseluruhan madrasah negeri yaitu MIN 358 buah, MTsN 182 buah, dan MAAIN 42 buah.[7]
F.        Eksistensi Madrasah Ibtidaiyah Masa Orde Baru
Sekitar akhir tahun 70-an, pemerintah Orde Baru mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. Usaha tersebut diwujudkan dengan upaya yang dilakukan pemerintah dengan melakukan upaya memperkuat struktur madrasah, kurikulum dan jenjangnya, sehingga lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu sekolah-sekolah yang dikelola oleh departemen pendidikan dankebudayaan. Dalam rangka merespon SKB tersebut, maka disusun kurikulum madrasah tahun 1975 dengan perbandingan bobot alokasi waktu 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama, ( Zakiah Daradjat (Dkk), 1985: 82. [8]
Ketentuan untuk mengajarkan pengetahuan umum 1/3 dari seluruh jam pengajaran dilatarbelakangi oleh saran Panitia Penyelidik Pengajaran yang mengamati bahwa di madrasah-madrasah jarang sekali diajarkan pengetahuan umum yang sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari. Kekurangan pengetahuan umum akan menyebabkan orang mudah diombang-ambingkan oleh pendapat yang kurang benar dan pikiran kurang luas. [9]


G.    Permasalahan-permasalahan yang ada di Madrasah Ibtidaiyah
Permasalahan yang ada di madrasah adalah kompleks serta saling terkait dengan keadaan lainnya. Permasalah yang ada dan berkembang di masyarakat berasal dari faktor dari dalam diri madrasah (internal) dan faktor dari luar madrasah (eksternal). Faktor yang berasal dari dalam madrasah antara lain adalah kurang  respon dan minatnya umat Islam sendiri untuk menyekolahkan anak-anaknya di madrasah. Secara umum dapat disebutkan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat sebagai berikut:
a.   Madrasah masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Madrasah dianggap lembaga pendidikan kelas dua.
b.    Kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah justru terasa mempersulit upaya-upaya pengembangan madrasah. 
c.    Mutu pendidikan relatif  rendah kurang terjamin bila dibandingkan dengan sekolah formal karena banyaknya bidang studi yang diajarkan.
d.    Kualitas guru masih rendah. Hal ini ditandai dengan banyaknya guru-guru/ pengajar yang mengajar mata pelajarn yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
e.    Manajemen pengelolaan kurang professional. Hal ini ada kaitannya dengan mutu sumber daya manusia yang rendah, sebab bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
f.    Sarana prasarana pendidikan yang pas-pasan.
g.    Jumlah siswa yang sedikit serta berlatar belakang intelegensi yang rendah dan berasal dari keluarga yang tidak mampu.[10]
H.    Pembinaan Pemerintah Terhadap Madrasah
Usaha peningkatan dan pembinaan   dalam pendidikan madrasah ini kembali terwujud dengan adanya Surat Keputusan Besama (SKB)  pada tahun 1975  yang menegaskan bahwa :
a. Yang dimaksud madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum.
b. Madrasah meliputi 3 tingkatan ;
1. Madarasah Ibtidaiyah setingkat dengan pendidikan dasar.
2. Madrsah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah
    Pertama
3. Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas
Pembinaan dan pengembangan madrasah versi SKB Tiga menteri terus berlangsung  dengan tujuan mencapai mutu yang dicita-citakan. Penyamaan madrasah dengan sekolah umum tidak hanya dalam hal penjenjangan saja, namun juga dalam hal struktur program dan kurikulum juga mengalami pembakuan dan penyeragaman setidaknya itu diperkuat dengan terbitnya Keputusan Besama Menteri Pendidian dan kebudayaan dengan Menteri Agama  No. 0299/U/1984 dan No. 45 Tahun1984, tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Perbedaan terlihat pada identitas madrasah, yang menjadikan pendidikan dengan pelajaran agama sebagai mata pelajaran dasar sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran  umum.
Menurut UU Nomor 2 tahun 1989, tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, memiliki ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. (Depag RI, 1991/1991)
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dari undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ini, mengusahakan :
1. Membentuk manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri.
2. Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh, yang mengandung terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham dan idiologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Dengan landasan demikian, sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara nyata, menyeluruh dan terpadu. Semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat, dan berlaku di seluruh wilayah negara, menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur. Jenjang dan jenis pendidikan, dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.[11]

ayat yang berhubungan dengan artikel diatas adalah :
`»H÷§9$# ÇÊÈ zN¯=tæ tb#uäöà)ø9$# ÇËÈ šn=y{ z`»|¡SM}$# ÇÌÈ çmyJ¯=tã tb$ut6ø9$# ÇÍÈ
1.  (Tuhan) yang Maha pemurah,
2.  Yang Telah mengajarkan Al Quran.
3.  Dia menciptakan manusia.
4.  Mengajarnya pandai berbicara.

Lihat versi Power Point






Yuk intip koleksi mukena kami yang kece-kece Disini

Referensi


[3] Lihat: http://mi-baabussalaam.blogspot.com/2012/09/latar-belakang-berdirinya-madrasah-di.html (26/12/2012)
[5] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Madrasah_ibtidaiyah  
[8] Lihat: http://hikamasfa.wordpress.com/2011/06/18/sejarah-madrasah-di-indonesia-tugas-uas-madin/
[9] Lihat: http://syukririfai.wordpress.com/2012/12/16/sejarah-perkembangan-madrasah-di-masa-orde-baru-1966-1998/
[10] Lihat: http://umiberbagi.blogspot.com/2012/10/pendidikan-islam-di-madrasah-ibtidaiyah.html
readmore »»  

Analisis Unsur Intrinsik Pada Cerpen


          Analisis cerpen ini diajukan oleh saya dan teman-teman saya untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah apresiasi sastra Indonesia. Menganalisis cerpen tidaklah susah kalau kita sudah membaca cerpen yang akan kita analisis dengan cermat dan sudah kita hayati. Selain hal tersebut memahami dan mengetahui unsur intrisik juga diperlukan agar dapat dengan mudah menganalisis sebuah cerpen. Berikut adalah contoh analisis sebuah cerepen dengan judul "Akhirnya Aku Bisa Merasakan". dapatkan file/documentnya 

Yuk intip koleksi mukena kami yang kece-kece Disini


ANALISIS CERPEN DENGAN PENDEKATAN STRUKTURAL INTRINSIK
AKHIRNYA AKU BISA MERASAKAN

         Adit, itulah nama panggilanku. Aku memiliki saudara kembar yaitu adib. Dia sangat cerdas dan tanggap dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan aku, aku adalah kebalikan dari adib. Sering kali aku dibanding-bandingkan dengan kelebihan adib.
             Segalanya serba adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”. Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa adib, adikku.
        Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai adib, ayah yang selalu memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih istimewa kepada adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan kehidupanku.
Tetangga yang biasanya tenteram dengan urusan mereka, kala ini merasa terundang untuk selalu membicarakan dan membandingkan aku dengan adib. Setiap aku lewat, pastilah lirikan yang tidak menyenagkan didapati olehku. Akan tetapi seketika adib lewat, sapaan demi sapaan selalu tercurahkan. Aku hanya bisa mengelus dada saja melihat fenomena ini.
            Suatu ketika, kejadian yang tidak diinginkan ditimpa oleh adib. Cairan bahan kimia mengenai kedua matanya ketika praktik di sekolah. Akhirnya adib dilarikan ke rumah sakit terdekat, guru-guru yang bersangkutan serta aku pun ikut ke rumah sakit tersebut.
           Setiba di rumah, ternyata telah ada guru perwakilan dari sekolah yang melaporkan kejadian tersebut pada orang tua kami. Belum sempat mencium tangan kedua orang tuaku, mereka berdua langsung menuju ke rumah sakit tersebut. Sedangkan aku menjaga rumah demi keselamatan bersama.
        Akan tetapi, seketika aku menyapu halamna rumah malah gunjingan dari tetangga yang ku dapat. Mereka bilang “sudah adik sendiri terkena musibah, malah tidak kasihan dan tidak dijaga”. Aku lagi-lagi hanya bisa mengelus dada mendengar celotehan para tetangga.
Aku sangat sayang pada orang tua dan adikku. Tugasku untuk menjaga adik telah aku selesaikan walau hanya sebentar, sedangkan tugas rumah yang selalu dibebankan padaku belum aku laksanakan, oleh karenanya aku pulang demi melaksanakan kewajibanku.
          Setelah mengerjakan urusan rumah, aku pun langsung mengunci seluruh isi rumah dan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk serta menjaga adib. Tapi seketika aku sampai di rumah sakit tepatnya di depan pintu kamar adib dirawat, aku mendengar diskusi antara dokter dengan kedua orang tuaku.
Aku tak mengira hal ini akan terjadi, keputusan yang membuat aku berat hati ini menjadikan aku lebih tegang dan bahkan mengharukan dalam hidupku. Dokter memutuskan bahwa mata adib tidak bisa diselamatkan kembali, tapi dapat diganti dengan bola mata lain baru dia bisa pulih seperti sedia kala, itu pun jika operasi berhasil.
           Orang tuaku siap mengganti berapa pun biaya demi keselamatan adib, bahkan dengan mengganti bola mata yang baru. Aku mengira bahwa orang tuaku akan menulis iklan dalam media masa bahwa mereka butuh donor mata dengan nilai rupiah yang cukup tinggi. Ternyata hal itu hanya mimpi belaka, keputusan orang tua yang dicurahkan terhadap dokter adalah mengambil bola mataku untuk adib, sang juara keluarga.
Mengapa nasibku sungguh malang. Aku mempunyai mimpi yang besar, akan tetapi hal ini apakah tidak menghalangi mimpiku? Mata adalah salah satu organ yang sangat penting adanya dan kegunaannya. Aku hanya bisa menangis sejenak melihat hal yang tak terduga ini. Lagi-lagi aku hanya bisa bergumam dan meronta dalam hati serta mengelus dada.
        Tanpa basa-basi, aku kembali ke rumah dan merenung di kamar. Tuhan sangat sayang padaku, dan aku pun yakin atas hal tersebut. Aku berpikir, jika aku tak punya mata lagi apakah aku bisa menangis? Biarlah, aku habiskan air mataku untuk adib, kebanggaan semua orang. Mungkin dengan cara ini aku bisa mendapat pujian dari semua orang yang kagum atas adib.
        Keesokan harinya pun operasi akan dilaksanakan, tanpa basa-basi malam sebelum operasi dilakukan aku telah siap dan berbicara pada orang tuaku sebelum mereka bicara padaku. Aku bisa merasakan ada air mata dari ayahku, tapi aku tidak bisa merasakan air mata yang ada dalam mata mamaku, padahal yang akan aku sumbangkan untuk adib adalah salah satu organ tubuh yang sangat ku sayangi.
       Hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Ibu sangat senang dengan datangnya hari ini, sedangkan aku sempat melihat di belakang sana ada ayahku yang dari sorotan matanya ingin mengucapkan sesuatu padaku. Namun apa boleh buat, kini waktuku untuk memberikan barang berhargaku untuk adikku.
Tinggal beberapa menit lagi operasi akan dimulai, aku memanfaatkannya dengan memanggil ayah dan ibuku. Aku hanya ingin memandang mereka dengan peka, karena mungkin ini akhir aku melihat mereka yang telah berjasa dalam hidupku.
       Aku sadar, aku tak berarti apa-apa dalam keluarga ini. Tetapi setidaknya aku telah berbuat baik kepada kedua orang tua dan selalu berpikiran positif dalam perjalanan hidupku serta meyakini ada rahasia tuhan yang tersembunyi di balik peristiwa ini semua.
         Tepat pukul 10.00 operasi dimulai, aku siap menghadapi alat-alat tajam yang akan mengambil mataku. Aku tak sadarkan diri pada waktu itu, akan tetapi kala ini aku sadar namun terasa ada yang hilang. Ya, kemewahan dan keindahan alam telah hilang menurutku. Semua di dunia ini telah musnah pikirku. Tetapi aku salah, yang telah hilang dari keindahan bukanlah dunia dan seisinya, melainkan kedua mataku telah hinggap pada tempat bola mata adib berada dulu.
        Kini mimpi-mimpiku terasa telah terhapus, aku tak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Yang aku bisa kerjakan aku kerjakan, namun yang tak bisa ya aku tinggalkan. Dengan kecacatan yang aku derita ini, aku memutuskan untuk tinggal di kejauhan sana agar tidak membuat malu keluarga. Ayahku tidak setuju dengan pikiranku, namun yang membuat aku tambah mengelus dada adalah kerelaan ibu yang begitu memancarkan ketidaksayangannya dalam menyetujui keputusanku.
        Ini adalah jalanku, sebelum aku pergi jauh dan tinggal bersama orang-orang yang asing pintaku hanya satu. Aku hanya ingin berbincang-bincang dengan keluarga sampai larut malam.
       Pagi harinya, sebelum aku pergi. Aku memberikan secarik kertas untuk adib, yang sempat aku tulis ketika malam terakhir aku memiliki mata yang sempurna. Aku tidak menulis panjang lebar untuk adib, namun aku hanya menulis “Dik, Akhirnya aku bisa merasakan ….. Akhirnya aku bisa merasakan sepertimu, selalu dipuji, dipandang baik dan sempurna oleh seluruh orang. Akhirnya aku bisa merasakan sepertimu, walau hanya sekedar kedua bola mataku”

Hasil analisis cerpen dengan pendekatan struktural instrinsik
1.      Tema
Tema atau pokok persoalan dalam cerpen Akhirnya Aku Bisa Merasakan adalah adanya dikriminasi pada saudara kembar sehingga salah satu darinya merasa memperoleh perlakuan  yang tidak adil dari kedua orangtuanya. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai adib, ayah yang selalu memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih istimewa kepada adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan kehidupanku.”

2.      Alur/plot
Cerpen Akhirnya aku Bisa Merasakan” diawali dengan pemaparan atau pemberian informasi kepada pembaca tentang latar belakang tokoh si aku (adit). Tokoh utama, si aku menyebutkan namanya adalah adit yang memiliki saudara kembar (adiknya) bernama adib. Namun adit selalu dibandingkan dengan adib karena adib memiliki kelebihan dibanding adit. Hal ini dapat kita baca pada kutipan berikut.
Adit, itulah nama panggilanku. Aku memiliki saudara kembar yaitu adib. Dia sangat cerdas dan tanggap dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan aku, aku adalah kebalikan dari adib. Sering kali aku dibanding-bandingkan dengan kelebihan adib.
Tahap berikutnya disebut dengan munculnya permasalahan.

3.      Latar /setting
Dalam cerpen biasanya terdapat latar dan setting latar adalah tempat terjadinya suatu peritiwa sedangkan setting adalah waktu dan suasana sebuah peristiwa dalam cerita sedang berlangsung. Latar dalam cerita ada tiga macam, yakni: latar tempat, latar waktu, latar social
·         Latar tempat
Latar dalam cerpen di sini adalah di dalam rumah, halaman depan rumah, dan di rumah sakit. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanyakutipan dibawah ini:
Setiba di rumah, ternyata telah ada guru perwakilan dari sekolah yang melaporkan kejadian tersebut pada orang tua kami. Belum sempat mencium tangan kedua orang tuaku, mereka berdua langsung menuju ke rumah sakit tersebut. Sedangkan aku menjaga rumah demi keselamatan bersama.
Setelah mengerjakan urusan rumah, aku pun langsung mengunci seluruh isi rumah dan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk serta menjaga adib. Tapi seketika aku sampai di rumah sakit tepatnya di depan pintu kamar adib dirawat, aku mendengar diskusi antara dokter dengan kedua orang tuaku.
·         Latar Waktu
Latar waktu yang terjadi pada cerita ini adalah banyak sekali yakni, pagi, siang dan sore. hal tersebut seuai dengan kutipan dibawah ini.
Tepat pukul 10.00 operasi dimulai, aku siap menghadapi alat-alat tajam yang akan mengambil mataku.”
Akan tetapi, seketika aku menyapu halaman rumah malah gunjingan dari tetangga yang ku dapat. Mereka bilang “sudah adik sendiri terkena musibah, malah tidak kasihan dan tidak dijaga”. Aku lagi-lagi hanya bisa mengelus dada mendengar celotehan para tetangga.
·         Latar Sosial
Latar social ini menggambarkan tentang kebiasaan dan keadaan masyarakat di tengah para tokoh dalam cerita. Dalam cerpen ini latar social digambarkan sebagai berikut.
Tetangga yang biasanya tenteram dengan urusan mereka, kala ini merasa terundang untuk selalu membicarakan dan membandingkan aku dengan adib. Setiap aku lewat, pastilah lirikan yang tidak menyenagkan didapati olehku. Akan tetapi seketika adib lewat, sapaan demi sapaan selalu tercurahkan. Aku hanya bisa mengelus dada saja melihat fenomena ini.

4.      Penokohan
Berikut adalah para tokoh dalam cerpen beserta wataknya.
·         Tokoh aku
Tokoh aku dalam cerpen memiliki watak yang baik, pengertian dan sabar. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut ini:

“Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai adib, ayah yang selalu memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih istimewa kepada adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan kehidupanku.’

·         Tokoh Adib
tokoh adib atau sadara kembar si aku ini adalah memiliki watak yang baik, pintar  dan selalu memberi semangat pada kakaknya (si aku adit). Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut.
Segalanya serba adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”. Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa adib, adikku.
·        Tokoh Ibu
Tokoh ibu dalam cerpen diatas memiliki watak yang jahat dan mempunyai sifat diskriminasi terhadap anak kandungnnya sendiri. Sang ibu sangat senang ketika adit memberikan matanya kepada adiknya, Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.

“Hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Ibu sangat senang dengan datangnya hari ini, sedangkan aku sempat melihat di belakang sana ada ayahku yang dari sorotan matanya ingin mengucapkan sesuatu padaku. Namun apa boleh buat, kini waktuku untuk memberikan barang berhargaku untuk adikku.”

Segalanya serba adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”. Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa adib, adikku.
·         Tokoh Ayah
Tokoh ayah pada cerpen diatas memiliki watak yang jahat pula, tapi suatu saat juga terkadang baik. Hal ini terbukti dengan adanya kutipan berikut.
Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai adib, ayah yang selalu memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih istimewa kepada adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan kehidupanku.
Kini mimpi-mimpiku terasa telah terhapus, aku tak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Yang aku bisa kerjakan aku kerjakan, namun yang tak bisa ya aku tinggalkan. Dengan kecacatan yang aku derita ini, aku memutuskan untuk tinggal di kejauhan sana agar tidak membuat malu keluarga. Ayahku tidak setuju dengan pikiranku, namun yang membuat aku tambah mengelus dada adalah kerelaan ibu yang begitu memancarkan ketidaksayangannya dalam menyetujui keputusanku.

5.      Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang pada cerpen diatas adalah dengan menggunakan gaya bahasa sehari-hari yang mudah dipahami, sehingga pembaca cerpen ini dapat meresapi, menghayati dan memahami cerita dengan mudah.

6.      Sudut Pandang
Dalam cerpen Akhirnya Aku Bisa Merasakan pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama yakni aku. Pengarang mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri pula. Dalam cerita kadang kala pengarang menjadi pencerita. Dalam cerpen pengarang menggunakan kata ganti aku

7.   Pesan atau Amanat
Pesan atau amanat yang terkandung dalam cerpen diatas adalah:
·   Sebagai orang tua seharusnya tidak boleh memperlakukan seorang anak dengan cara tidak adil
·   Sebagai orang tua harus menerima kelebihan dan kekurangan dari sosok seorang anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu kandung
·   Sesama saudara harus saling memberi semangat dan saling tolong menolong
· Sesama anggota keluarga harus saling manghormati dan tolong menolong serta bekerja sama dalam mengadpi suatu permaslahan.



readmore »»